03 May 2012 | 06:37
“Aku bingung deh. Kenapa sih kamu memilih homeschool dibanding sekolah biasa? Sepintas kayaknya kamu ga pernah sekolah, ataupun ngikutin pelajaran!”
– Kata seorang mantan pacar, 17 tahun.
“Kamu sekolah seperti tanpa perkembangan aja.”
– Kata Oma, yang sering mendampingiku saat tutor datang ke rumah.
Begitulah kata orang-orang terdekat saya mengenai keseharian saya tentang sekolah. Semenjak ibunda saya jatuh sakit hingga akhirnya meninggal dunia, saya merelakan masa-masa SMA yang normal dan indah di Manado, Sulawesi Utara, demi merawat dan menyaksikan sendiri detik demi detik dan hembus demi hembus nafas terakhirnya.
Saya perlu mengakui di artikel ini kalau di bulan-bulan awal sebelum berstatus siswa homeschooling, saya memang berstatus siswa dropped-out (DO). Bukan hanya karena keterbatasan biaya, namun juga karena fokus yang bercabang dan keterbatasan di tubuh saya. Saat masih hidup “normal” sebagai anak-anak SMA kebanyakan–menikmati masa muda dengan nongkrong, mencontek dan menghadapi konflik antar ababil (ABG labil)–saya terkadang masih kurang fokus untuk memperhatikan kesehatan ibunda yang sejak tahun 2001 dideteksi menderita leukemia. Tak hanya itu, seluruh biaya sekolah waktu itu saya berikan sepenuhnya untuk pengobatan ibunda, walau ujung-ujungnya tetap ajal.
Setelah saya menjalani program ini beberapa bulan terakhir, saya mendapatkan pengalaman yang hendak saya bagikan untuk Anda, agar Anda dapat mengetahui lebih banyak tentang program belajar ini.
Homeschooling bukan hanya solusi bagi mereka yang ingin berkembang lebih intensif di luar sekolah saja, tapi bagi siswa yang memiliki masalah internal di dalam rumah (misalnya trauma akibat perceraian orangtua, anak yang mengidap social disorder, atau karena kesulitan untuk memfokuskan waktu). Untung saja saya bukanlah orang yang masuk dalam kategori memiliki masalah internal sehingga saya perlu untuk menempuh jalur pendidikan non-formal ini.
Sebelum masuk homeschool, kejiwaan saya terlebih dahulu diperiksa melalui serangkaian tes. Tidak seperti di SLB (sekolah luar biasa) yang hanya memakai 1 tes untuk mengetahui kendala-kendala psikologis anak dalam belajar. Saya sempat tersinggung dengan rangkaian tes ini (apalagi bagi saya yang separuh koleris dan separuh melankolis yang memiliki sensitivitas tinggi terhadap reaksi lingkungan), namun demi ijazah SMA, mau tak mau saya jalani. Dari rangkaian tes inilah dapat diketahui kendala-kendala belajar, cara-cara belajar yang lebih efektif, pola dan teknik bergaul anak, serta keseimbangan proses di otak anak, tidak seperti di sekolah-sekolah lain yang hanya sekedar “mengamati” dan cenderung malas untuk mendiagnosa kendala-kendala belajar yang semua bersumber semata-mata dari poin akademik.
Program-program homeschool yang saya dapat memang sama persis, menganut kurikulum KTSP seperti yang diamanatkan dalam peraturan dan undang-undang pendidikan di negeri ini. Buku-buku pelajarannya saja yang berbeda. Kalau sekolah lain yang tebalnya mungkin bisa disejajarkan dengan tebal skripsi para mahasiswa, di homeschool bisa memakai buku pelajaran standar sekolah negeri dan swasta (umumnya juga mengambil materi dari BSE Kemendiknas) atau modul yang mereka rangkum sendiri. Kalau menggunakan modul, keuntungannya siswa dapat memakai cara cepat menghitung seperti yang diajarkan dalam program bimbel pada umumnya, juga siswa tak perlu pusing untuk membacanya.
Soal waktu? Hmmm… Cukup fleksibel, asal siswa konsisten dan tertib untuk menjalaninya. Saya ambil contoh satu sekolah homeschool yang populer: Homeschooling Kak Seto (HSKS). HSKS menetapkan ada waktu tatap muka paling tidak 2 kali seminggu, jadwal dapat dipilih sesuai aktivitas si anak dalam sepekan. Siswa ada yang datang ke sekolah maupun dikunjungi tutor, hanya saja untuk tutor ke rumah dikenakan biaya tambahan yang ditagihkan pula dalam SPP.
Biaya yang dikenakan kepada setiap siswa tergantung dari branding sekolah, waktu, maupun intensitas pertemuan dengan tutor. Misalnya saja HSKS yang brand-nya sudah besar, dan tentu saja, dipakai oleh stasiun-stasiun televisi jika ada kontestan acara televisi yang harus bolos sekolah demi tampil di depan pemirsa. Semakin baik branding-nya, semakin mahal pula biayanya, bukan?
Layaknya sekolah umum, homeschool juga punya rapor. Bentuknya seperti lembaran kertas HVS dan biasa disebut “report card” (kartu laporan). Model rapor seperti ini mengadopsi model rapor Amerika dengan nilai kualitatif (dengan huruf) dan kuantitatif (dengan angka), dan hanya berbentuk selembar kartu atau kertas. Di Indonesia saja, rapor dalam bentuk lembaran biasanya hanya rapor tengah semester yang memuat nilai portfolio, UTS atau rangkuman nilai ulangan harian. Belum banyak sekolah yang merangkum nilai siswanya dalam bentuk elektronis seperti e-rapor yang berbentuk lembaran kertas dan dicetak datanya dari komputer.
Ijazah yang didapat seusai homeschool bukan ijazah biasa seperti sekolah-sekolah yang umum, melainkan Ijazah Paket C. Setahu saya, ijazah Paket C hanya untuk pendidikan kesetaraan bagi siswa yang DO seperti saya, atau yang gagal dalam tingkat satuan pendidikannya. Ijazah Paket C masih dianggap sebagai momok dan belum banyak diterima, padahal tingkatannya setara dengan satuan pendidikan yang ditempuh. Yang sangat saya sayangkan adalah ijazahnya tidak dapat dipakai untuk menempuh pendidikan tinggi di universitas negeri, di mana seluruh calon mahasiswanya disaring melalui SNMPTN dan sistem ini tidak menerima ijazah pendidikan kesetaraan seperti homeschool dan bimbingan paket C.
Mengapa homeschool hanya diganjar dengan ijazah paket C? Karena homeschool dikategorikan sebagai pendidikan non-formal sekalipun menganut sistem satuan pendidikan yang umum. Seluruh pendidikan formal di luar bimbingan belajar, diklat dan kursus yang menganut kurikulum Pemerintah dikategorikan sebagai pendidikan kesetaraan. Ujiannya pun juga dilaksanakan, umumnya terdapat jarak beberapa bulan setelah ujian nasional tingkat pendidikan yang ditempuh.
Yang saya sukai dari ujian untuk homeschool adalah, paket ujiannya yang sama tingkat kesulitannya dengan Ujian Nasional biasa, dan desas-desus kecurangan dan kebocoran soal yang nihil sehingga tidak mengganggu kejiwaan siswanya yang mengikutinya. Tahu sendiri kan, UN juga sarat akan kebocoran? Untuk yang satu ini, sejauh saya rasakan, tidak demikian halnya.
Nah, bagaimana memilih tingkat pendidikan yang sesuai dengan anak Anda? Homeschooling atau sekolah biasa? Sama saja. Bedanya hanya soal kocek, kok!
Joshua Martin Limyadi
Citizen Reporter | Social Blogger
Twitter @LimyadiJoshua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar